Sabtu, 30 Oktober 2010

Kesederhanaan Cinta

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya, ketika saya bersandar di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui, bahwa saya mulai merasa lelah. Alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan PERCERAIAN!

"Mengapa?" tanya suami saya dengan terkejut.

"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan" jawab saya.

Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?

Dan akhirnya suami saya bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiran kamu?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan mengubah pikiran saya.

Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?"


Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok."

Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan coret-coretan tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan...

"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."

Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu 'teman baik kamu' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal."

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu khawatir kamu akan menjadi 'aneh'. Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami."

"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu."

"Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu."

"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir menangisi kematian saya."

"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih daripada saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu."

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.

"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu."

"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia."

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang segelas susu dan roti kesukaan saya.

Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih daripada dia mencintai saya.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu. Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga"



*sometimes woman being so complex while man being so simple

Ayah Selamanya

Bagi seorang yg sdh dewasa, yg sdg jauh dr orangtua, akan sering merasa kangen dgn mamanya. bgmn dgn papa?
Mungkin krn mama lbh sering menelepon utk menanyakan keadaan setiap hari. Tp tahukah kamu, jika trnyt papalah yg mengingatkan mama utk meneleponmu?
Saat kecil, mamalah yg lebih sering mendongeng. Tp tahukah kamu bhw sepulang papa bekerja dgn wajah lelah beliau selalu menanyakan apa yg kamu lakukan seharian.
Saat kamu sakit batuk/pilek, papa kadang membentak "sudah dibilang! jgn minum es!". Tp tahukah kamu bahwa papa khawatir?
Ketika kamu remaja, kamu menuntut utk dpt izin keluar malam. Papa dgn tegas berkata "tidak boleh!" Sadarkah kamu bhw papa hny ingin menjagamu? Krn bagi papa, kamu adlh sesuatu yg sangat berharga.
Saat kamu bisa lebih dipercaya, papapun melonggarkan peraturannya. Kamu akan memaksa utk melanggar jam malamnya.
Maka yg dilakukan papa adlh menunggu di ruang tamu dgn sangat khawatir.Ketika kamu dewasa,dan hrs kuliah di kota lain.
Papa harus melepasmu. Tahukah kamu bhw badan papa terasa kaku utk memelukmu? Dan papa sangat ingin menangis.
Di saat kamu memerlukan ini-itu, utk keperluan kuliahmu, papa hanya mengernyitkan dahi. Tp tanpa menolak, beliau memenuhinya.
Saat kamu diwisuda. Papa adlh org pertama y berdiri dan bertepuk tangan untukmu. Papa akan tersenyum dan bangga. Sampai ketika teman pasanganmu datang utk meminta izin mengambilmu dari papa.
Papa akan sangat berhati-hati dlm memberi izin.Dan akhirnya..Saat papa melihatmu duduk di pelaminan bersama seseorang yg dianggapnya pantas, papapun tersenyum bahagia.
Apa kamu tahu,bhw papa sempat pergi ke belakang dan menangis?Papa menangis krn papa sangat bahagia. Dan iapun berdoa "Ya Tuhan, tugasku telah selesai dgn baik.
Bahagiakan. Putra/i kecilku yg manis bersama pasangannya".Stlh itu papa hny bisa menunggu kedatanganmu brsm cucu-cucunya yg sesekali dtg utk mnjenguk Dgn rambut yg memutih dan badan yg tak lagi kuat utk menjagamu

Ego Dalam Cinta

Perjalanan cinta memang tidak semulus yang kita inginkan, kadang ada riak-riak kecil yang menggoda. Ibarat air dia akan beriak ketika melewati bebatuan. Ego datang tidak mengetuk pintu, dia tiba-tiba nongol dan mengalahkan cinta. Hanya kesabaran yang bisa menahan dia sehingga tidak menguasai hati. Marah, tersinggung itu wajar tetapi dendam hanya akan menyakiti diri sendiri. Terkadang mengalah tidak sepenuhnya berlaku ketika egonya terlalu. Untuk hal- hal yang prinsip diam memberikan pelajaran supaya ego tidak semena-mena. Namun jika memang salah maka mengakui kesalahan adalah sebuah keberanian dan kemenangan hati. Bersabar dan biarkan angin dingin meredam lahar kebencian, marah, dan ketersinggungan. Bersikap tenang seperti air dan biarkan fikiran mengalir ke hilir.

Kemunafikan Rasa

Tanah tak terasa dipijak,
pandangan mata gelap dan hati mengeras..
itulah yang terjadi ketika ego menguasai hati,
dia tidak memberikan ruang sedikitpun kepada rasa cinta dan kasih sayang,
untuk berlabuh.

Hanya sesaat saja… bagaikan kemarau setahun dihapus hujan sehari.
Kasih sayang yang dibina dengan ketulusan tidak dianggap dan lenyap begitu saja. Hujatan, makian keluar dari mulut tanpa henti, ketidakpuasan, kelemahan menjadi senjata untuk saling memaki dan memaki.
Kemanakah hatinurani itu pergi, dan mengapa emosi dan ego itu menguasai…?
Hati memang cinta dan terkadang mulut tak dikontrol menjadi pemicunya… keinginan untuk menjadikan keadaan lebih baik dan membuat orang berubah menjadikan mulut tidak terkontrol.
Semua merasa tersakiti…Ketika disadari perubahan itu mesti dimulainya bukan untuk diinginkan saja

copy Iwayan Wardika